Matched Content

Monday, March 24, 2014

Lampu Kedip Berdaya Besar 2200 Watt Yang Dapat Disetel


Di antara pemirsa ada yang menanyakan mengenai lampu kedip berdaya besar dengan tegangan 220 VAC. Maka pada artikel ini saya membahas modifikasi dari rangkaian pengedip (flasher) sebelumnya agar dapat menyalakan lampu dengan daya jauh lebih besar, mencapai 2200 watt atau 2,2 kilowatt.

Ada dua rangkaian yang saya bahas di artikel ini, yaitu flasher sederhana, dan flasher dengan SCR.


FLASHER SEDERHANA
Sebelum membahas rangkaian yang rumit, ada baiknya kita lihat dulu rangkaian flasher sederhana yang hanya terdiri dari 5 komponen saja selain lampu beban, sebagaimana skema berikut.


Video YouTube berikut memperlihatkan saat rangkaian ditest dengan lampu pijar (bohlam) Philips 100 watt 220 VAC. Dipasang 2x (dua) buah lampu pada kaki relai Normally Close (NC) dan Normally Open (NO) sehingga lampu menyala bergantian (flip flop).

5 hertz frekuensi kedipan:



3/5 hertz frekuensi kedipan:




DR = dioda rectifier (penyearah) 1N4007, yang mengubah arus bolak-balik (AC) menjadi arus searah (DC) untuk disuplai ke coil (kumparan) relay.

S = relay dengan tegangan coil (kumparan) 24 volt, mampu mengalirkan arus beban sebesar 10 ampere pada tegangan beban 250 VAC, sehingga mampu menyalakan lampu beban berdaya sekitar 2200 watt pada tegangan 220 VAC. Merk yang saya gunakan adalah ‘MASSUSE’ dengan tipe ‘ME-15H’. Dari hasil pengujian, diketahui bahwa relay ini sudah dapat diaktifkan (On) dengan tegangan coil serendah 15 volt dan arus 10 mili ampere (0,010 A). Relay ini mempunyai 5 kaki tipe SPDT (Single Pole Double Throw), atau dapat ditafsirkan sebagai satu kutub dengan dua posisi, sehingga dapat mengalirkan arus saat coil tidak aktif, dan juga dapat mengalirkan arus saat coil aktif melalui kaki yang lain. Dengan relay SPDT maka rangkaian sederhana ini dapat menggunakan dua buah lampu yang menyala bergantian (flip flop). Lihat foto relay dibawah.


Lampu B terhubung dengan kaki relay dan menyala jika relay aktif. Pada saat aktif, coil relay tidak mendapat suplai daya dari jaringan 220 VAC, tapi disuplai oleh kondensor CS. Jika kondensor sudah kosong maka relay akan Off sehingga lampu B mati. Pada saat tidak aktif  (Off), relay menghubungkan kondensor dengan jaringan 220 VAC agar kondensor terisi kembali (recharge), lalu siklus kedipan berlanjut. Itulah sebabnya maka relay yang digunakan haruslah mempunyai dua posisi atau kaki yang dapat mengalirkan arus (SPDT).

Jika menggunakan relay otomotif, maka arus yang dapat disalurkan mencapai 30 ampere, jadi daya bebannya sekitar 6600 watt. Tapi relay otomotif agak sulit dipasang di papan PCB (Printed Circuit Board) karena konektornya yang besar-besar. Relay otomotif biasanya mahal harganya, dan umumnya bertipe Single Pole Single Throw (SPST) atau satu kutub dengan satu posisi yaitu hanya satu kaki untuk mengalirkan arus, bukan SPDT.  Arus coil pada relay otomotif juga relatif lebih besar sehingga membutuhkan resistor coil (RS) yang lebih besar dayanya dan harganya pun jadi lebih mahal. Karena pertimbangan tersebutlah maka pilihan jatuh pada relay merk 'MASSUSE' di atas saat mendesain rangkaian ini.

DS = dioda zener senilai 24 volt dengan daya sekitar 1 watt, fungsinya untuk membatasi tegangan pada coil relay hanya setinggi 24 volt. Juga untuk membuang tegangan tinggi (spike) yang mencapai ribuan volt yang timbul karena induksi pada coil relay saat relay dimatikan (Off) setelah aktif (On). Walau terjadi hanya dalam waktu yang amat sangat singkat dan dengan arus yang amat sangat lemah, spike dapat membuat kerusakan fatal pada komponen lainnya, seperti SCR, transistor, IC, dan lain-lain. Pada foto di atas dioda zener terlihat berwarna biru muda. Perhatikan bahwa pemasangan kaki-kaki dioda zener adalah kebalikan dengan cara memasang kaki dioda biasa dan SCR.

RS = resistor senilai 5600 ohm (5k6) dengan daya 5 watt. Resistor ini membatasi arus yang disuplai ke coil relay. Dengan nilai 5k6 tersebut akan membuat tegangan pada kaki coil relay menjadi sekitar 25-26 volt. Tegangan 25-26 volt tersebut akan distabilkan oleh dioda zener DS menjadi 24 volt maximal. Resistor ini harus berdaya besar karena disuplai dengan tegangan 220 VAC. Jika menggunakan resistor berdaya kecil dapat terbakar. Jika relay yang Anda gunakan berbeda konsumsi arusnya, maka resistor RS ini harus disesuaikan. Jika relay Anda membutuhkan arus lebih besar maka RS harus diperkecil resistansinya dan dinaikkan dayanya. Jika relay Anda membutuhkan arus lebih kecil, maka RS dinaikkan resistansinya dan dayanya boleh diturunkan. Jadi pada desain rangkaian ini, coil relay yang bertegangan rendah dapat bekerja dengan aman walau disuplai dengan tegangan tinggi karena dilindungi oleh resistor RS dan dioda zener DS.

CS = kondensor atau kapasitor senilai 100 mikrofarad dengan tegangan maximal 50 volt. Kondensor pada rangkaian flasher sederhana ini berfungsi untuk menampung daya listrik yang mengaktifkan coil relay. Kondensor ini akan menentukan frekuensi kedipan, Dari hasil pengujian nilai 100 mikrofarad akan membuat frekuensi kedipan sekitar 3 hertz atau 3 kedipan per detik. Saat menggunakan kondensor 470 mikrofarad maka frekuensi kedipan sekitar 3/5 hertz atau 3 kedipan setiap 5 detik. Kaki positif kondensor terhubung dengan dioda DR, kaki negatifnya terhubung dengan resistor RS. Pada foto di atas tampak kondensor CS berlapis plastik biru tua.

Rangkaian di atas mudah dan murah untuk dirakit, tapi sayang sulit untuk menyetel frekuensi kedipannya. Karena harus mengganti kondensor CS untuk menyetel frekuensi. Jika menggunakan relay yang mempunyai tegangan coil 220 volt maka rangkaian akan lebih sederhana lagi, tapi relay dengan tegangan coil 220 volt biasanya mahal harganya. 


FLASHER DENGAN SCR
Sekarang mari kita memasang relay pada rangkaian dengan SCR yang dibahas di artikel “Skema Lampu Kedip 200 Watt 220 VAC Yang Dapat Disetel”.  Dengan rangkaian ini frekuensi kedipan dapat disetel dengan potensiometer. Perioda lampu menyala dan perioda lampu saat mati juga dapat dimodifikasi sesuai keinginan. Karena ditambah relay maka daya bebannya bisa lebih besar dan dapat memakai 2 rangkai lampu kedip yang nyala dan mati bergantian (flip-flop). Pada artikel ini rangkaian tersebut hanya diberi tambahan 4 buah komponen lagi. Lihat skema berikut.



Harap berkonsentrasi pada bagian atas skema tersebut, beberapa komponen sudah dijelaskan dan sama dengan komponen flasher sederhana di awal artikel ini.

CS = kondensor senilai 4,7 mikrofarad dengan tegangan maximal 50 volt, komponen ini berbeda dengan kondensor pada rangkaian flasher sederhana. Kondensor ini tidak menentukan frekuensi kedipan. Kondensor pada rangkaian ini berfungsi untuk meratakan arus yang mengaktifkan coil relay sehingga relay tidak bergetar dengan frekuensi sekitar 50-60 hertz. Sebagaimana kita ketahui coil relay diaktifkan oleh tegangan bolak-balik (VAC) 50-60 hertz yang disearahkan oleh dioda, jadi tegangan searah yang didapat berbentuk pulsa setengah gelombang yang dapat membuat relay bergetar. Dari hasil pengujian nilai 4,7 mikrofarad sudah cukup menstabilkan relay saat coilnya aktif, nilai terbesar yang saya coba adalah sekitar 22 mikrofarad. Jika menggunakan kondensor yang terlalu besar maka relay selalu akan aktif atau selalu On walau SCR sudah memutus arus agar lampu berkedip. Pemasangan kondensor harus sesuai kaki positif dan kaki negatifnya. Kaki positif kondensor terhubung dengan jaringan listrik 220 VAC, kaki negatifnya terhubung dengan resistor RS. 

Perhatikan cara menyambung lampu beban ke relay dan ke sumber tegangan. Salah satu kaki lampu dihubungkan dengan output relay, kaki lainya dihubungkan langsung ke jaringan listrik 220 VAC. Lampu dilindungi oleh sekring lampu (FB). Sekring lampu (FB) berukuran besar dan harus sesuai dengan arus lampu beban.

Sekring lainnya yaitu (F) hanya melindungi komponen yang berdaya rendah, tidak melindungi lampu beban, sehingga cukup menggunakan sekring dengan arus kecil yaitu sekitar 0.5 ampere. Dengan demikian jika terjadi kesalahan atau kegagalan sistem (system failure) pada rangkaian, maka sekring dapat putus seketika agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah, atau bahkan kecelakaan fatal.

Karena relay tersebut adalah jenis SPDT, maka dengan relay ini dapat dibuat lampu kedip dengan sistem flip-flop, yaitu lampu yang satu akan menyala jika lampu yang lain mati secara bergantian. Lihat skema di bawah.


Ada dua buah rangkaian lampu  pada sistem flip-flop yang dipasang pada kedua kaki output relay. Sehingga relay akan bergantian mensuplai arus ke dua lampu tersebut. Daya lampu beban pada sistem flip-flop harus dikurangi sampai sekitar 1/4 daya maximal, atau sekitar 500 watt saja. Karena titik-titik kontak pada relay hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat agar suhunya turun.

Nilai-nilai komponen lainnya dan cara menyetel frekuensi kedipan dapat dibaca di artikel “Skema Lampu Kedip 200 Watt 220 VAC Yang Dapat Disetel” . 

PERHATIAN: seluruh rangkaian terhubung langsung dengan tegangan tinggi, jangan menyentuh rangkaian saat tersambung ke jaringan listrik, gunakan peralatan yang terisolasi dengan baik terhadap tegangan tinggi.





Tuesday, March 4, 2014

1500 PSI Hydrostatic Pressure Test With Simple Tools



Hydrostatic pressure testing is a test to check strength and leakage in a pressure vessel or components such as tank , pipe, tube, boiler, divers tank (SCUBA tank , Self Contained Underwater Breathing Apparatus ) and others , using liquid as a medium for transferring pressure . Read about hydrostatic test in Wikipedia.

The liquid used is usually water or oil. Water is more frequently used because it is cheap and easy to obtain . Water also rarely has side effects such as damage to rubber, sealant, and other parts. If water can cause corrosion to component material, water can easily be drained and dryed right after testing. Sometimes colored liquid is used to make it easy for visual inspection in case of leakage .

Why use fluid to transfer pressure? Because fluid can only be compressed very slightly. So it does not require huge power to pump much fluid volume in order to increase the pressure.

If using air or gas, it would be an explosion if the component being tested cannot contain the pressure . This is due to the nature of gas that can be compressed, if component being tested cannot withstand the pressure then explosion will occur because gas efforts to release it’s pressure as that gas is compressed.


Please see the picture above. For example: air from the atmosphere is compressed up to 10 times smaller in volume so that its pressure rise 10 times atmospheric pressure. The left picture is normal gas with Y piston height. In the right picture is compressed gas with piston height equal to Y/10 to rise pressure 10 times. If the component being tested cannot withstand that pressure, compressed air will tear apart the component being tested, in other words explode. Because that compressed and shrunken air, will try to expand until it reaches the original volume. The compressed air will stop expanding when the pressure is back to as low as the atmospheric pressure.

Fluid is only slightly compressible. If component being tested cannot withstand the pressure, a small leak can reduce much pressure. So component being tested will not explode to release the pressure of compressed fluid inside it.


In the left image above is a normal fluid, with Y piston height. The right picture is a compressed fluid with piston height 9/10 of the original height (Y), but the pressure is risen up to 10 times. Just like a gas, pressurized fluid also try to release it’s pressure. But if there is a little leakage, pressure will drop drastically, it does not have to explode to release the pressure. Therefore, a slight leak will be easily readable on pressure gauge, and then inspected which part is leaking.

If the pressure decreases when tested, this is a clue that component being tested is leaking as it cannot withstand the pressure. Then do visual inspection to find out which part of component being tested is leaking fluid.

Hydrostatic testing is usually done with the pressure reaches 150% of maximum operating pressure of component being tested, depending on applicable safety regulation.

I need a hydrostatic test to ensure the strength of a transparent cylinder made ​​of Unsaturated Polyester Resin (UPR). The resin cylinder will be used as a sight glass / tube.

Hydrostatic test is quite expensive. A hydrostatic hand pump price is about US$ 100 with a maximum pressure of 700 PSI or 48 bars. But I need pressure as high as 1500 PSI, approximately 50 times higher than family car tire pressure, 102.1 times higher than the atmospheric pressure at sea level..

I remembered that I still keep an used clutch slave cylinder of CJ7 Jeep, and then I got the idea to utilize that clutch slave cylinder.

The inside volume of clutch slave cylinder is about half of volume of the inside resin cylinder, so it can easily be concluded that the clutch cylinder can pump enough water to rise pressure.

Please see the picture below. Clutch cylinder rubber boot and cylinder rod are removed. At the top is clutch slave cylinder, and at the bottom is resin cylinder with pressure gauge.


A fabricated threaded double nipple is used to connect resin to tee joint. A pressure gauge is connected to that tee joint. Another fabricated threaded double nipple is used to connect the last remaining end of tee joint.

Plunger or piston in clutch slave cylinder is pressed by a 12 mm bolt with a length of 120 mm. There is a nut welded to a plate frame. The plate frame is tied to clutch cylinder body with two long bolts. We can see a long bolt at the top is hooked to the clutch cylinder body. While another long bolt at the bottom is tied with 2 clamps, because I do not want to weld that bolt to clutch cylinder body.

As the nut is welded on the frame which is attached to the clutch cylinder body, so if the 12 mm bolt is rotated to the right, that 12 mm bolt will move inward and press the plunger into the cylinder body. That is similar working principle to bearing puller or pulley puller. In this case the clutch cylinder is pulled, while the plunger is pressed into the clutch cylinder by 12 mm bolt.

The plunger will put pressure to water in the clutch cylinder. Because the clutch cylinder is connected to tee joint, and that joint tee has resin cylinder on one end, and also a pressure gauge on the last remaining end of that joint tee, then transferred pressure by water will press the resin and the amount of pressure can be read on the pressure gauge.

Resin cylinder has top and bottom steel caps which are secured by 4 long bolts, and sealed by Dextone red silicone sealant.

When testing with 1500 PSI pressure, it was proved that the resin cylinder is not cracked, and there was nothing water droplet come out of silicone sealant, also no water droplet out of the rubber seal of clutch cylinder. 1500 PSI pressure did not decrease within a few minutes, alias steady alias does not leak.

Please see the YouTube video below when doing the test.